Kisruh Pengadaan Chromebook Rp9,9 Triliun: Antara Inovasi Digitalisasi dan Dugaan Korupsi Sistemik

Nadiem Makarim mengatakan pengadaan perangkat TIK merupakan bagian dari mitigasi atas ancaman learning loss akibat pandemi Covid-19. (ANTARA FOTO/I GEDE FERLIAN SEPTA WAHYUSA)

Baca artikel CNN Indonesia “Duduk Perkara Kasus Pengadaan Chromebook Rp9,9 T di Era Nadiem” selengkapnya di sini: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250611062733-12-1238381/duduk-perkara-kasus-pengadaan-chromebook-rp99-t-di-era-nadiem/2.

Download Apps CNN Indonesia sekarang https://app.cnnindonesia.com/
Nadiem Makarim mengatakan pengadaan perangkat TIK merupakan bagian dari mitigasi atas ancaman learning loss akibat pandemi Covid-19. (ANTARA FOTO/I GEDE FERLIAN SEPTA WAHYUSA)

Baca artikel CNN Indonesia “Duduk Perkara Kasus Pengadaan Chromebook Rp9,9 T di Era Nadiem” selengkapnya di sini: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250611062733-12-1238381/duduk-perkara-kasus-pengadaan-chromebook-rp99-t-di-era-nadiem/2.

Download Apps CNN Indonesia sekarang https://app.cnnindonesia.com/
Nadiem Makarim mengatakan pengadaan perangkat TIK merupakan bagian dari mitigasi atas ancaman learning loss akibat pandemi Covid-19. (ANTARA FOTO/I GEDE FERLIAN SEPTA WAHYUSA).

Di tengah upaya digitalisasi pendidikan Indonesia pasca-pandemi, sebuah program ambisius diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada periode 2019–2023. Program tersebut bertujuan mendistribusikan lebih dari satu juta perangkat TIK, termasuk laptop Chromebook, untuk menunjang pembelajaran jarak jauh dan asesmen nasional berbasis komputer. Namun, proyek senilai Rp9,9 triliun ini justru berakhir menjadi pusat penyidikan kasus dugaan korupsi yang kini menyeret nama pejabat tinggi kementerian hingga staf khusus menteri.

Pada 15 Juli 2025, Kejaksaan Agung menetapkan empat tersangka dalam kasus ini, di antaranya dua pejabat tinggi direktorat Kemendikbudristek, satu konsultan, dan satu mantan staf khusus Menteri Nadiem Makarim. Mereka dituduh menyalahgunakan kewenangan dengan secara sepihak mengarahkan pengadaan ke perangkat berbasis Chrome OS, tanpa pertimbangan kebutuhan riil sekolah penerima bantuan.

Direktur Penyidikan Jampidsus mengungkap bahwa pengadaan ini justru merugikan negara hingga Rp1,98 triliun, karena produk tidak berfungsi optimal dan tujuan pengadaan—yakni peningkatan kualitas pembelajaran dan akses digital—tidak tercapai.

Kejaksaan Agung RI pada Mei 2025 resmi menaikkan status perkara pengadaan Chromebook ke tahap penyidikan. Proyek ini dibiayai melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp6,3 triliun dan Dana Satuan Pendidikan (DSP) sebesar Rp3,58 triliun, yang totalnya hampir menyentuh Rp10 triliun. Meskipun bertujuan baik, proyek ini mulai menuai kritik karena dugaan manipulasi kajian kebutuhan dan ketidaksesuaian produk dengan kondisi geografis Indonesia, khususnya daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang minim koneksi internet.

Temuan awal menunjukkan adanya “pemufakatan jahat” dalam proses penyusunan kajian teknis. Kajian tersebut seolah-olah mendukung penggunaan Chrome OS padahal hasil uji lapangan menunjukkan ketidakefektifan produk tersebut di wilayah dengan koneksi internet rendah.

Nadiem Makarim, selaku Mendikbudristek saat proyek ini berjalan, membela kebijakan tersebut sebagai respons cepat terhadap ancaman learning loss selama pandemi COVID-19. Ia mengklaim bahwa keputusan menggunakan Chrome OS diambil berdasarkan kajian efisiensi biaya, serta melibatkan lembaga negara seperti BPKP dan KPPU untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas. Ia pun menyatakan siap bekerja sama dengan penyidik apabila diperlukan.

Kasus ini menyoroti kompleksitas kebijakan pendidikan digital di Indonesia. Di satu sisi, respons cepat terhadap kondisi darurat pandemi merupakan langkah yang perlu diapresiasi. Namun di sisi lain, ketika implementasi tidak berbasis kebutuhan lapangan dan dipenuhi konflik kepentingan, maka inovasi bisa berubah menjadi instrumen penyalahgunaan kekuasaan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa proses penganggaran yang seharusnya berbasis bottom-up (usulan dari sekolah) dilanggar, sehingga perangkat dikirim ke sekolah yang bahkan tidak tahu cara memakainya atau tidak memiliki infrastruktur pendukung.

Lebih lanjut, pemaksaan satu merek dan sistem operasi tunggal—Chrome OS—dengan alasan efisiensi berpotensi melanggar prinsip netralitas teknologi dan membuka ruang bagi praktik monopoli terselubung.

Kasus pengadaan Chromebook Rp9,9 triliun adalah potret nyata bagaimana proyek berlabel “revolusi digital pendidikan” bisa terjebak dalam jebakan korupsi birokrasi dan kebijakan teknokratis yang tidak berpijak pada realitas lapangan. Ke depan, diperlukan pengawasan ketat terhadap proses pengadaan barang dan jasa di sektor pendidikan, serta keterlibatan publik dalam penyusunan kebijakan pendidikan berbasis kebutuhan riil.

2 Comments.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *