
Luka Lama yang Terkuak
Di tengah wacana modernisasi pendidikan, publik kembali diguncang oleh terkuaknya skandal pengadaan satu koma satu juta unit Chromebook senilai hampir sepuluh triliun rupiah yang dilakukan pada periode 2019 hingga 2023. Program ini awalnya diklaim sebagai terobosan untuk mendukung pembelajaran digital di sekolah-sekolah, terutama setelah pandemi memaksa sistem pendidikan beradaptasi dengan teknologi. Namun seiring berjalannya waktu, berbagai kejanggalan mulai mencuat ke permukaan.
Kejaksaan menemukan indikasi pelanggaran yang serius, mulai dari penentuan harga yang dinilai tidak wajar, spesifikasi perangkat yang tidak sesuai kebutuhan, hingga distribusi yang tidak mempertimbangkan kesiapan infrastruktur sekolah penerima. Banyak sekolah di daerah menerima perangkat ini dalam jumlah besar, tetapi tidak memiliki jaringan internet yang memadai, bahkan beberapa sekolah tidak memiliki sumber listrik stabil. Akibatnya, perangkat yang seharusnya menjadi alat pembelajaran justru menganggur di gudang atau digunakan hanya untuk keperluan administrasi.
Kritik juga mengarah pada proses pengadaan yang dianggap minim transparansi. Meskipun ada klaim dari pihak terkait bahwa harga Chromebook lebih murah dibanding pasar, laporan dari lembaga audit dan kelompok pengawas anggaran mengungkapkan adanya ketidaksesuaian dalam perhitungan biaya dan pemilihan vendor. Bagi banyak pengamat, kasus ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi juga mencerminkan lemahnya pengawasan serta absennya prioritas pada kebutuhan riil pendidikan.
Skandal ini menjadi pelajaran pahit bahwa proyek teknologi di sektor pendidikan tidak bisa hanya didorong oleh semangat modernisasi tanpa perencanaan matang. Tanpa evaluasi menyeluruh terhadap kebutuhan lapangan dan mekanisme pengawasan yang kuat, program sebesar apa pun bisa berubah menjadi beban anggaran yang sia-sia.