
Pendidikan yang Tertinggal di Meja Rapat
Di balik slogan pemerataan pembangunan dan komitmen pada generasi muda, realitas alokasi anggaran negara justru menunjukkan wajah yang berbeda. Tahun 2025 menjadi contoh nyata bagaimana perebutan prioritas di meja perencanaan anggaran sering kali tidak berpihak pada sektor pendidikan. Porsi dana pendidikan yang dipangkas secara signifikan dialihkan ke proyek-proyek lain yang dianggap lebih cepat memberikan keuntungan politik, mulai dari program makan bergizi gratis hingga pembangunan infrastruktur berskala besar yang nilai manfaatnya belum tentu sepadan dengan biayanya.
Kondisi ini menciptakan jurang ketimpangan yang semakin lebar. Sekolah-sekolah di perkotaan, yang umumnya memiliki akses ke sumber dana alternatif, masih mampu mempertahankan mutu pembelajaran. Sebaliknya, sekolah di daerah terpencil terpaksa mengurangi kegiatan ekstrakurikuler, menunda pembelian buku, dan bahkan memotong jam pelajaran karena kekurangan fasilitas. Di tingkat perguruan tinggi, universitas ternama mungkin masih bisa bertahan berkat kerjasama internasional dan dukungan swasta, namun kampus di daerah kehilangan daya saing karena ketiadaan dana riset dan pengembangan.
Kritik dari akademisi, mahasiswa, dan pemerhati pendidikan menggarisbawahi bahwa prioritas anggaran saat ini lebih diarahkan untuk kebutuhan jangka pendek yang bersifat populis ketimbang investasi jangka panjang di bidang pendidikan. Mereka mengingatkan bahwa keberhasilan suatu negara tidak hanya diukur dari megahnya infrastruktur atau popularitas program sosial instan, melainkan dari kualitas sumber daya manusianya. Ketika pendidikan terus berada di urutan belakang dalam daftar prioritas, masa depan bangsa justru terancam suram meski angka pertumbuhan ekonomi terlihat menjanjikan.
Perebutan prioritas anggaran adalah cerminan dari pilihan politik, dan ketika pilihan itu tidak berpihak pada pendidikan, maka dampaknya tidak hanya dirasakan hari ini, tetapi akan membekas hingga generasi berikutnya.