
Saat Animasi Anak Bangsa Jadi Perbincangan Hangat
Tanggal 14 Agustus 2025 akan menjadi momen penting bagi dunia perfilman Indonesia. Sebuah film animasi karya anak bangsa berjudul “Merah Putih: One For All” dijadwalkan tayang di bioskop jaringan CGV, bertepatan dengan perayaan HUT ke-80 Kemerdekaan RI. Namun jauh sebelum layar lebar memutarnya, karya ini sudah memicu rasa penasaran, perdebatan, dan bahkan kritik pedas.
Kisah Petualangan yang Sarat Pesan Persatuan
Film ini mengisahkan delapan anak dari berbagai penjuru nusantara — Betawi, Papua, Medan, Tegal, Jawa Tengah, Makassar, Manado, dan Tionghoa. Mereka bersatu membentuk “Tim Merah Putih” dengan misi berat: menemukan kembali bendera pusaka yang hilang hanya tiga hari sebelum upacara kemerdekaan.
Premisnya sederhana tapi kuat: perbedaan budaya, bahasa, dan latar belakang tidak menghalangi mereka untuk bekerja sama demi satu tujuan besar. Pesan yang disampaikan jelas — persatuan adalah kekuatan utama bangsa.
Niatan Luhur, Eksekusi yang Dipertanyakan
Di balik kisah yang inspiratif, sejumlah fakta di balik layar membuat netizen terbelalak:
Produksi Kilat
Film ini disebut mulai dikerjakan sekitar Juni 2025 dan rampung dalam waktu hanya 1,5–2 bulan. Bagi industri animasi, ini tergolong sangat singkat — biasanya dibutuhkan waktu berbulan hingga bertahun untuk mencapai kualitas yang matang.Biaya Fantastis
Anggaran produksinya dikabarkan mencapai Rp 6,7–6,8 miliar. Dengan dana sebesar itu, publik berharap kualitas visual setara film animasi besar. Sayangnya, cuplikan yang beredar justru menuai komentar miring.Kontroversi Judul Berbahasa Inggris
Badan Bahasa Kemendikbud mempertanyakan penggunaan kata “One For All” dalam film bertema nasionalisme. Menurut mereka, akan lebih tepat jika judulnya memakai bahasa Indonesia sebagai wujud kebanggaan nasional.
Gelombang Kritik dari Publik
Di media sosial, warganet membanjiri kolom komentar dengan beragam reaksi. Ada yang menilai karakternya menarik tapi animasinya “kurang halus”, ada pula yang terang-terangan menyebutnya “seperti proyek terburu-buru”.
Produser Toto Soegriwo sendiri menanggapi dengan santai, mengatakan, “Senyum saja, komentator lebih pandai dari pemain.” Kalimat ini semakin memicu perbincangan, baik yang mendukung maupun yang skeptis.
Kenapa Tetap Layak Dilirik?
Meski diselimuti kontroversi, ada alasan mengapa film ini masih menarik untuk ditonton:
Pesan Nasionalisme – Mengajarkan nilai persatuan, kerja sama, dan kecintaan pada tanah air sejak dini.
Dukungan untuk Animasi Lokal – Setiap karya, baik atau buruk, adalah bagian dari perjalanan membangun industri kreatif Indonesia.
Bahan Diskusi Publik – Kritik yang muncul bisa menjadi pelajaran penting untuk memperbaiki kualitas animasi tanah air di masa depan.